Kasus Korupsi Timah Berapa Tahun Penjara

Kasus Korupsi Timah Berapa Tahun Penjara

Update Kasus Korupsi Timah

Kejagung menggelar konferensi pers terkait perkembangan terbaru kasus dugaan korupsi timah, pada Rabu (29/5/2024). Jaksa Agung ST Burhanuddin mengungkap jumlah terbaru soal kerugian negara dalam kasus ini  bertambah hingga Rp 300 triliun.

Kemudian Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Febrie Adriansyah, menegaskan jumlah tersebut masuk ke kategori kerugian negara bukan kerugian perekonomian negara.

Febrie mengungkap kasus ini akan dibawa ke persidangan. Lalu para terdakwa akan didakwa atas kerugian negara. Lebih lanjut Febrie mengatakan mega korupsi itu termasuk kerugian real loss.

Selain itu, Kejagung juga menetapkan mantan Dirjen Minerba Kementerian ESDM periode 2015-2022, Bambang Gatot Ariyono, sebagai tersangka baru dalam kasus korupsi timah. Penetapan tersangka dilakukan usai penyidik menemukan alat bukti yang cukup kuat. Sehingga kini jumlah tersangka korupsi timah bertambah menjadi 22 orang.

Kuntadi menjelaskan, alasan penetapan Bambang ini lantaran ia diduga terlibat dalam upaya mengubah Rencana Kerja Dan Anggaran Biaya (RKAB) pada tahun 2019. Dimana sebetulnya dalam RKAB itu sejumlah 30.217 metrik ton, lalu diubah menjadi 68.300 metrik ton.

Nah demikian tadi menebak nama Jenderal B di pusaran kasus korupsi timah. Semoga informasi ini bermanfaat!

Kontributor : Putri Ayu Nanda Sari

Lagi-lagi jajaran kejaksaan mencuri perhatian dengan pengusutan perkara korupsi. Masih hangat dalam ingatan soal Jiwasraya dan ASABRI, kini perkara pertambangan menjadi sorotan.

Kasusnya sendiri bertajuk dugaan korupsi dalam tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022 atau bolehlah disingkat kasus korupsi timah. Sampai detik ini sudah ada 16 orang tersangka yang dijerat kejaksaan yang mana nama tersangka terakhir menjadi buah bibir yaitu Harvey Moeis yang merupakan suami dari aktris Sandra Dewi.

Kasus ini tidak serta merta muncul. Beda dari kasus-kasus yang biasa diusut KPK melalui operasi tangkap tangan atau OTT, perkara yang diusut Kejaksaan Agung (Kejagung) melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) ini biasa disebut menggunakan metode case building atau mengembangkan kasus. Biasanya dalam perkara yang diusut melalui case building, pasal yang dikenakan memiliki ancaman hukuman yang lebih ngeri dibanding perkara-perkara yang sifatnya suap-menyuap. Ancaman hukumannya seumur hidup penjara atau bahkan mati dengan syarat kondisi tertentu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kejagung melalui Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) atau bisa disebut juru bicara dari Kejagung yaitu Ketut Sumedana pertama kali bicara mengenai kasus ini pada Selasa, 17 Oktober 2023. Saat itu Ketut mengatakan penyidik Jampidsus sudah melakukan penggeledahan dan penyitaan di 3 lokasi yang berada di Bangka.

"Tindakan penyitaan dan penggeledahan tersebut terkait dengan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk tahun 2015 s/d tahun 2022," ujar Ketut kala itu.

Secara sederhana Ketut mengatakan kasus ini mengenai kerja sama pengelolaan lahan PT Timah Tbk dengan pihak swasta secara ilegal. Hasil pengelolaan itu dijual kembali kepada PT Timah Tbk sehingga berpotensi menimbulkan kerugian negara.

Siapa Saja Tersangka?

Dalam perkara ini Kejagung sudah menetapkan 16 orang tersangka di mana seorang di antaranya dijerat terkait perintangan penyidikan. Sedangkan 15 orang tersangka lainnya dalam pokok perkara. Berikut rinciannya:

Tersangka Perintangan Penyidikan1. Toni Tamsil alias Akhi (TT)

Tersangka Pokok Perkara2. Suwito Gunawan (SG) selaku Komisaris PT SIP atau perusahaan tambang di Pangkalpinang, Bangka Belitung3. MB Gunawan (MBG) selaku Direktur PT SIP4. Tamron alias Aon (TN) selaku beneficial owner atau pemilik keuntungan dari CV VIP5. Hasan Tjhie (HT) selaku Direktur Utama CV VIP6. Kwang Yung alias Buyung (BY) selaku mantan Komisaris CV VIP7. Achmad Albani (AA) selaku Manajer Operasional Tambang CV VIP8. Robert Indarto (RI) selaku Direktur Utama PT SBS9. Rosalina (RL) selaku General Manager PT TIN10. Suparta (SP) selaku Direktur Utama PT RBT11. Reza Andriansyah (RA) selaku Direktur Pengembangan Usaha PT RBT12. Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (MRPT) selaku Direktur Utama PT Timah 2016-201113. Emil Ermindra (EE) selaku Direktur Keuangan PT Timah 2017-201814. Alwin Akbar (ALW) selaku mantan Direktur Operasional dan mantan Direktur Pengembangan Usaha PT Timah15. Helena Lim (HLN) selaku manager PT QSE16. Harvey Moeis (HM) selaku perpanjangan tangan dari PT RBT

Provinsi Bangka Belitung sendiri dikenal sebagai penghasil timah. Dalam praktiknya penambangan timah ilegal di wilayah itu marak. Menurut Kuntadi selaku Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejagung, Harvey mewakili PT RBT menghubungi sejumlah smelter atau bisnis-bisnis peleburan timah yang terlibat dalam kasus ini.

Harvey juga pernah menghubungi Mochtar Riza Pahlevi Tabrani ketika aktif sebagai Direktur Utama PT Timah. Maksud Harvey berkomunikasi dengan Mochtar adalah untuk mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah itu yaitu dengan modus sewa-menyewa alat peleburan timah.

"Yang selanjutnya tersangka HM ini menghubungi beberapa smelter, yaitu PT SIP, CV VIP, PT SPS, dan PT TIN, untuk ikut serta dalam kegiatan dimaksud," kata Kuntadi.

Lalu apa kaitan dengan Helena Lim?

Sebelum menjerat Harvey, kejaksaan sudah lebih dulu menetapkan Helena Lim sebagai tersangka. Dari rumahnya disita duit miliaran jumlahnya serta brankas berisi perhiasan. Rupanya antara Harvey dan Helena ini terdapat benang merah. Kejagung menduga Harvey meminta pihak smelter menyisihkan keuntungan yang dihasilkan dari praktik terselubung itu di mana kemudian dikelola seolah-olah menjadi dana corporate social responsibility (CSR) yang difasilitasi Helena.

"(Keuntungan yang disisihkan) diserahkan kepada yang bersangkutan dengan cover pembayaran dana CSR yang dikirim para pengusaha smelter ini kepada HM melalui QSE yang difasilitasi oleh tersangka HLN," ujar Kuntadi.

Kasus ini masih berproses tetapi Kejagung sempat memunculkan dugaan kerugian lingkungan yang timbul. Angkanya fantastis: Rp 271 triliun. Dari mana hitungannya?

Kejagung pada 19 Februari 2024 menghadirkan ahli lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo. Dia melakukan penghitungan kerugian yang ditimbulkan dari kerusakan hutan di Babel imbas dari dugaan korupsi yang merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran Dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) Nomor 7 Tahun 2014 itu berisi tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup.

Berikut bunyi pasal yang mengatur mengenai penghitungan kerugian lingkungan sebagaimana dilihat detikcom:

(1) Penghitungan kerugian lingkungan hidup dilakukan oleh ahli di bidang:a. pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup; dan/atau;b. valuasi ekonomi lingkungan hidup.

(2) Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk oleh:a. pejabat eselon I yang tugas dan fungsinya bertanggung jawab di bidang penaatan hukum lingkungan Instansi Lingkungan Hidup Pusat; ataub. pejabat eselon II Instansi Lingkungan Hidup Daerah.

(3) Penunjukan ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan atas:a. bukti telah melakukan penelitian; dan/ataub. bukti telah berpengalaman, di bidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Penunjukan ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun sesuai dengan Format Penunjukan Ahli sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

(1) Penghitungan Kerugian Lingkungan Hidup yang dilakukan oleh ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) sesuai dengan Pedoman Penghitungan Kerugian Lingkungan Hidup yang tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

(2) Pedoman Penghitungan Kerugian Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, dan/atau masyarakat.

(1) Hasil penghitungan Kerugian Lingkungan Hidup oleh ahli dipergunakan sebagai penilaian awal dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di luar pengadilan atau melalui pengadilan.

(2) Hasil penghitungan Kerugian Lingkungan Hidup yang dihitung oleh ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengalami perubahan dalam proses Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di luar pengadilan atau melalui pengadilan.

(3) Perubahan besarnya Kerugian Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipengaruhi oleh faktor teknis dan nonteknis.

(4) Faktor teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) antara lain :

a. durasi waktu atau lama terjadinya Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup;b. volume polutan yang melebihi Baku Mutu Lingkungan Hidup;c. parameter polutan yang melebihi Baku Mutu Lingkungan Hidup;d. luasan lahan dan sebaran Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup; dan/ataue. status lahan yang rusak.

(5) Faktor nonteknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain:a. inflasi; dan/ataub. kebijakan pemerintah.

Menimbang hal-hal di atas, menurut Bambang, angka kerugian lingkungan dalam kasus itu mencapai Rp 271.069.688.018.700 atau Rp 271 triliun. Bambang menjelaskan angka Rp 271 triliun adalah perhitungan kerugian kerusakan lingkungan dalam kawasan hutan dan nonkawasan hutan. Dia merinci perhitungan kerugian dalam kawasan hutan dan non kawasan hutan. Rinciannya sebagai berikut:

Kerugian Kawasan Hutan:- Kerugian lingkungan ekologisnya Rp 157,83 Triliun- Ekonomi lingkungannya Rp 60,276 Triliun- Pemulihannya itu Rp 5,257 TriliunTotal untuk yang di kawasan hutan adalah Rp 223 Triliun atau lengkapnya Rp 223.366.246.027.050.

Kerugian Non Kawasan Hutan:- Biaya kerugian ekologisnya Rp 25,87 Triliun- Kerugian ekonomi lingkungannya Rp 15,2 Triliun- Biaya pemulihan lingkungan Rp 6,629 TriliunTotal untuk untuk nonkawasan hutan APL adalah Rp 47,703 Triliun

"Totalnya kerugian itu yang harus juga ditanggung negara adalah 271.069.687.018.700," kata Bambang dalam jumpa pers bersama Kejagung saat itu.

Bambang mendata total luas galian terkait kasus PT Timah Tbk di Bangka Belitung sekitar 170.363.064 hektar. Namun, luas galian yang memiliki izin usaha tambang atau IUP hanya 88.900,462 hektare.

"Dan dari luasan yang 170 ribu (hektare) ini ternyata yang memiliki IUP itu hanya 88.900,661 hektare, dan yang non-IUP itu 81.462,602 hektare," ujar dia.

Angka ini bukanlah angka kerugian negara yang timbul dalam kasus ini, melainkan angka awal sebagaimana tertuang dalam pasal 6 ayat 1 di Permen LH 7/2014. Terkait penghitungan kerugian negara yang masih dihitung itu sebelumnya juga sudah disampaikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Kejagung Kuntadi.

"Kerugian ini masih akan kita tambah dengan kerugian keuangan negara yang sampai saat ini masih berproses. Berapa hasilnya masih kita tunggu," kata Kuntadi.

"Hasilnya seperti apa, yang jelas kalau dari sisi pendekatan ahli lingkungan beberapa saat yang lalu sudah kami sampaikan. Selebihnya masih dalam proses untuk perumusan formulasi penghitungannya," imbuhnya.

Simak juga 'Ini Peran Suami Sandra Dewi dalam Kasus Korupsi Komoditas Timah':

[Gambas:Video 20detik]

JAKARTA, KOMPAS.com - Selama sepuluh tahun Presiden Joko Widodo (Jokowi) menduduki pucuk kekuasaan, persoalan korupsi terus menjadi sorotan.

Laporan Transparency International Indonesia (TII) menyebut, skor indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia berada di angka 34 dari 100 pada 2014 silam atau awal Jokowi menjabat.

Meski sempat naik hingga angka 38, skor itu kembali turun ke angka 34 tepat pada tahun terakhir Jokowi menjabat.

Meski demikian, selama satu dasawarsa Jokowi berkuasa tidak sedikit kasus-kasus megakorupsi yang ditangani aparat penegak hukum.

Berdasarkan catatan Kompas.com, ada sejumlah kasus dengan nilai kerugian mencapai triliunan rupiah yang terbongkat selama masa kepemimpinan Jokowi, berikut daftarnya:

Kasus e-KTP atau KTP elektronik merupakan salah satu perkara korupsi paling besar yang pernah diusut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga menang di pengadilan.

Begitu rumitnya kasus ini, KPK membutuhkan waktu empat tahun untuk mengusut skandal yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun dan menjerat para pejabat negara, termasuk Ketua DPR RI saat itu, Setya Novanto.

Kasus ini terungkap dari kicauan eks Bendahara Umum partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin. Skandal korupsi e KTP yang dilakukan pada 2011-2012 pun terungkap.

Baca juga: Kilas Balik Kasus E-KTP Setya Novanto, Kembali Disorot Usai Pernyataan Eks Ketua KPK

Nilai proyek pengadaan e KTP disebut mencapai Rp 5,9 triliun namun digelembungkan. Penyidikan berlangsung sekitar tahun 2016 hingga 2017. Namun, saat ini masih terdapat tersangka yang berstatus buron.

“Jadi gini, proyek nilainya RP 5,9 triliun, saya (Setya) Novanto, semua, merekayasa proyek ini, mark up Rp 2,5 triliun” kata Nazaruddin pada 23 September 2013.

Sejumlah pihak yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini adalah Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Sugiharto.

Kemudian, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Irman, pengusaha Andi agustinus alias Andi Narogong, Setya Novanto, dan lainnya.

Sugiharto dihukum 5 tahun penjara, denda Rp 400 juta, dan membayar uang pengganti 50.000 dollar AS.

Irman dihukum 7 tahun penjara, denda Rp 500 juta, dan uang pengganti 500.000 dollar AS. Kemudian, Andi Narogong dihukum 8 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, dan uang pengganti 2,5 juta dollar AS dan Rp 1,1 miliar.

Sementara, Setya Novanto divonis 15 tahun penjara, denda Rp 500 juta, dan uang pengganti 7,5 juta dollar AS dikurangi Rp 5 miliar.

Kemudian, pihak swasta seperti mantan Direktur Utama PT Quadra Solution, Anang Sugiana Sugiharjo dihukum 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.

Baca juga: Kisah Setya Novanto Minta Perlindungan Jokowi Saat Terjerat Kasus E-KTP...

Anggota DPR Markus Nari dihukum 6 tahun penjara, denda Rp 300 juta, dan mengembalikan uang Rp 5,6 miliar.

Dalam persidangan Setya Novanto disebutkan, total anggaran yang dibagi-bagi untuk anggota DPR dan pejabat Kemendagri mencapai Rp 4,9 triliun.

Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) merupakan kasus korupsi yang dimulai pada 1998 ketika  Indonesia mengalami krisi ekonomi dan banyak bank dalam negeri kesulitan likuiditas.

Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.

Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.

Floresa.co – Konten video penangkapan artis Raffi Ahmad dan istrinya Nagita Slavina oleh sekelompok pria yang diduga polisi tersebar luas di berbagai kanal media sosial beberapa hari belakangan.

@Opposite6892, salah satu akun X yang mengunggah dua video itu menulis narasi: “artis Raffi Ahmad diringkus polisi karena terlibat kasus pencucian uang 271 triliun, Nagita Slavina ngamuk” dan “Raffi Ahmad diringkus terkait pencucian uang, Mama Gigi sampai merengek nangis.”

Unggahan tersebut yang telah tayang 243 ribu kali menampilkan Raffi dan Nagita sedang berada di rumah, didatangi polisi berpakaian preman yang langsung memegang tangan mereka untuk dibawa ke kantor polisi.

Perdebatan lalu terjadi, di mana keduanya menolak, hingga seorang polisi memberikan sebuah surat penangkapan.

Raffi telah menanggapi video itu, mengatakan berita terkait penangkapan dia dan istrinya adalah hoaks.

“Hadeuhhh… ini tuh konten PRANK, jadi gue di-PRANK 5 tahun lalu di youtube channel @attahalilintar, jadi jangan percaya kalo ada pihak yang tidak bertanggung jawabdan mengedit video ini sehingga menjadi berita HOAX!!!,” tulisnya di akun Instagram @raffinagita1717 pada 2 April.

Floresa menelusuri video tersebut, menemukan bahwa konten aslinya diunggah empat tahun lalu di kanal Youtube milik Atta Halilintar.

Dalam video itu, Atta menulis judul “PRANK RAFFI AHMAD! Di TANGKAP POLISI!! NAGITA NANGIS”.

Video tersebut hingga kini telah ditonton lebih dari 26 juta kali.

Sementara itu, kasus dugaan korupsi timah ilegal dengan kerugian negara mencapai Rp271,06 triliun terjadi di wilayah Izin Usaha Pertambangan PT Timah Tbk di Kepulauan Bangka Belitung.  Hingga kini, Kejaksaan Agung telah menetapkan 16 orang tersangka kasus penambangan ilegal selama 2015-2022 itu, di mana salah satunya Harvey Moeis, suami artis Sandra Dewi.

Berdasarkan klarifikasi Raffi Ahmad dan penelusuran konten asli dari video penangkapan artis tersebut, dengan demikian video yang beredar luas di media sosial dengan narasi penangkapan Raffi atas keterlibatannya dalam kasus dugaan korupsi timah ilegal adalah hoaks.

Empat terdakwa, Laksamana Muda (Purnawirawan) Agus Purwoto, Kusuma Arifin Wiguna, Surya Cipta Witoelar, dan Thomas Anthony van der Heyden dalam sidang tuntutan kasus dugaan korupsi proyek pengadaan satelit slot orbit 123 derajat Bujur Timur Kementerian Pertahanan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (7/7/2023).

JAKARTA, KOMPAS – Empat terdakwa dugaan korupsi proyek pengadaan Satelit Orbit 123 Derajat Bujur Timur di Kementerian Pertahanan Republik Indonesia pada 2015, masing-masing dituntut hukuman pidana penjara 18 tahun 6 bulan. Keempat terdakwa itu dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian negara mencapai ratusan miliar rupiah.

Keempat terdakwa itu adalah Laksamana Muda (Purn) Agus Purwoto selaku Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan Kemenhan RI periode Desember 2013 hingga Agustus 2016, Kusuma Arifin Wiguna selaku Komisaris Utama PT Dini Nusa Kusuma, dan Surya Cipta Witoelar selaku Direktur Utama PT Dini Nusa Kusuma. Satu terdakwa lagi adalah berkewargaaan negara Amerika Serikat, yakni Thomas van der Heyden selaku Senior Advisor PT Dini Nusa Kusuma.

Keempat terdakwa hadir pada sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (7/7/2023). Persidangan dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Fahzal Hendri.

Tuntutan terhadap keempat terdakwa itu dibacakan secara bergantian oleh jaksa koneksitas yang terdiri dari unsur Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Pusat dan Oditur dari pihak militer yakni Jasri Umar, Nurul Anwar, Dhikma Heradika, dan kawan-kawan. Ini lantaran terdakwa perkara ini ada yang berasal dari pihak militer.

Majelis hakim berbincang dengan jaksa penuntut umum sebelum sidang dimulai di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (2/3/2023).

Saat menyampaikan tuntutannya, jaksa koneksitas, Jasri Umar menyebut, Agus Purwoto bersama dengan Arifin Wiguna, Surya Cipta Witoelar, dan Thomas van der Heyden terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian negara mencapai Rp 453 miliar dari proyek pengadaan Satelit Orbit 123 Derajat Bujur Timur di Kementerian Pertahanan.

Baca juga: Warga Negara AS Didakwa Rugikan Indonesia Rp 453 Miliar

"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Laksda TNI Purn Agus Purwoto berupa pidana penjara selama 18 tahun dan 6 bulan, dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan," kata jaksa.

Selain penjara, Agus juga dituntut membayar denda sebesar Rp 1 miliar. Selain itu, jaksa koneksitas juga menuntut Agus untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 135 miliar yang apabila tidak dibayar maka diganti dengan pidana penjara 9 tahun 3 bulan. "Jika tidak dibayar paling lama satu bulan sesudah putusan pengadilan inkrah maka harta bendanya disita dan dilelang oleh jaksa untuk menutupi uang pengganti tersebut," tutur jaksa.

Kemudian, jaksa menuntut ketiga terdakwa lainnya yakni, Arifin Wiguna, Surya Cipta Witoelar, dan Thomas van der Heyden, masing-masing dengan pidana penjara 18 tahun 6 bulan penjara. Masing-masing dari mereka juga dituntut membayar denda sebesar Rp 1 miliar. Apabila tidak dibayar maka diganti dengan pidana penjara selama 6 bulan.

Jaksa penuntut umum mengikuti persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (2/3/2023). Majelis hakim menunda sidang pembacaan surat dakwaan terhadap Thomas Anthony Van Der Heyden terkait kasus dugaan korupsi pengadaan satelit slot orbit 123 Bujur Timur di Kementerian Pertahanan.

Tak miliki kewenangan

Dalam pertimbangannya, jaksa koneksitas mengungkapkan, Agus diminta oleh Van der Heyden, Arifin, dan Surya untuk menandatangani kontrak sewa Satelit Floater, yakni Satelit Artemis. Kontrak sewa itu antara Kementerian Pertahanan dan Avanti Communication Limited. Padahal, penyewaan satelit itu tidak diperlukan.

Apalagi, lanjut jaksa, Agus tidak memiliki kewenangan menandatangani kontrak karena bukan selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam proyek pengadaan satelit tersebut.

Baca juga: Kejagung Usut Dugaan Korupsi Pengelolaan Satelit Orbit 123

Selain itu, ditemukan pula ada beberapa unsur yang tidak terpenuhi dalam kontrak tersebut. Hal itu di antaranya, belum tersedia anggaran dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kemenhan, tidak ada rencana umum pengadaan barang/jasa, dan tanpa kerangka acuan kerja (KAK) atau term of reference (TOR).

Ditemukan pula belum ada harga perkiraan sendiri (HPS), tidak ada proses pemilihan penyedia barang atau jasa, dan wilayah cakupan layanan Satelit Artemis tidak sesuai dengan filing satelit di Slot Orbit 123 Derajat Bujur Timur.

Sebagaimana fakta hukum yang terungkap di persidangan tersebut, perbuatan keempat terdakwa, menurut jaksa koneksitas, telah merugikan negara dalam jumlah yang sama. Kerugian negara itu tertuang dalam laporan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tentang penghitungan keuangan negara atas perkara dugaan korupsi proyek pengadaan satelit slot orbit 123 derajat di Kementerian Pertahanan tahun 2012-2021.

Laporan itu bernomor PE.03.03/SR-607/D5/02/2022 pada tanggal 12 Agustus 2022.

Suasana seusai sidang tuntutan kasus dugaan korupsi pengadaan satelit slot orbit 123 Bujur Timur di Kementerian Pertahanan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (7/7/2023). Ketua Majelis Hakim Fahzal Hendri memberikan kesempatan kepada keempat terdakwa untuk mengajukan pembelaan pada sidang lanjutan yang akan dilaksanakan Rabu, (12/7/2023).

Jaksa menyatakan para terdakwa telah melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001.

Seusai mendengarkan tuntutan jaksa koneksitas, Ketua Majelis Hakim Fahzal Hendri memberikan kesempatan kepada keempat terdakwa untuk mengajukan pembelaan. Pera terdakwa bersama penasihat hukumnya akan mengajukan nota pembelaan pada sidang lanjutan yang akan dilaksanakan pada Rabu, (12/7/2023) depan.

Kejaksaan Agung beberapa hari silam menetapkan Helena Lin dan Harvey Moeis sebagai dua tersangka baru dari kasus korupsi di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk pada 2015–2022. Kasus korupsi PT Timah menunjukkan tata kelola yang buruk, perlu pengawalan terhadap perhitungan kerugian negara dari kerusakan lingkungan, dan pengembangan kasus untuk menjerat tersangka lain. Berikut adalah catatan ICW terhadap kasus tersebut.

Pertama, kasus korupsi PT Timah memperpanjang praktik buruk tata kelola sektor ekstraktif. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa sepanjang 2004–2015 saja, negara sudah merugi sebanyak Rp 5,714 triliun hanya dari penyelundupan timah secara ilegal akibat tidak dibayarkannya royalti dan pajak PPh Badan. Apabila dirata-rata selama kurun waktu 12 tahun tersebut, negara kecolongan timah ilegal sebanyak 32,473 ton/tahun.

Kedua, perlu ada pengembangan kasus untuk menjerat aktor lain sebagai tersangka. Apabila kita melihat komposisi dari 16 tersangka yang telah ditetapkan oleh kejaksaan, mayoritasnya berlatar belakang direktur di perusahaan smelter. Padahal, kasus korupsi pertambangan kerap melibatkan aktor lain seperti pemerintah maupun aparat penegak hukum.

Dalam praktik pertambangan ilegal, aparat penegak hukum diduga acap kali menerima setoran dari aktivitas tambang untuk membiarkan operasi perusahaan tetap berjalan lancar. Modus tersebut antara lain pernah diungkap oleh mantan anggota Polres Samarinda, Ismail Bolong.

Bukan tidak mungkin modus serupa memperlancar praktik lancung dalam kasus PT Timah. Dalam praktiknya, perusahaan-perusahaan “boneka” mengambil bijih timah secara ilegal untuk kemudian dikirimkan ke perusahaan smelter yang sudah setuju bersekongkol. Praktik yang terjadi berulang kali tersebut nyaris mustahil luput dari pengawasan otoritas. Sehingga patut diduga bahwa operasi penambangan ilegal tersebut melibatkan aktor lain di luar aktor swasta.

Ketiga, pemerintah dalam kasus ini lalai memastikan tata kelola ekstraktif yang  baik. Setidaknya dua kementerian yaitu Kementerian BUMN dan Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) gagal menjalankan tugasnya.

Kementerian BUMN tidak memastikan PT Timah, entitas BUMN yang berada di bawah tanggung jawabnya, untuk mengambil langkah yang dapat mencegah terjadinya korupsi. PT Timah selaku BUMN diketahui menerbitkan Surat Perintah Kerja Borongan Pengangkutan Sisa Hasil Pengolahan mineral timah yang “memperlancar” praktik kotor perusahaan-perusahaan boneka yang menambang bijih timah secara ilegal.

Lebih jauh, Kementerian ESDM lalai melakukan peran pengawasan sebagaimana telah dimandatkan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Menteri ESDM dibekali kewenangan yang luas untuk mengawasi pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mulai dari teknis pertambangan, pemasaran, pengelolaan lingkungan hidup, hingga kesesuaian pelaksanaan kegiatan sesuai dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Keempat, ICW akan terus mendorong Kejaksaan Agung untuk memasukkan aspek kerusakan lingkungan dalam kalkulasi kerugian yang ditimbulkan dari kasus korupsi PT Timah. Kerugian yang ditimbulkan dari kasus korupsi tersebut mencapai angka Rp 271 triliun, terbesar sepanjang sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia.

Aparat penegak hukum sejauh ini terlalu berfokus pada penghitungan kerugian negara semata ketika menangani kasus korupsi dengan dimensi sumber daya alam. Padahal korupsi sektor ekstraktif seperti pertambangan selalu membawa dimensi kerusakan ekologis maupun sosial yang masif. Perlu juga dicatat bahwa kasus korupsi yang mempertimbangkan aspek kerugian lingkungan beberapa kali dianulir oleh putusan hakim. Sehingga ‘terobosan’ Kejaksaan Agung perlu dikawal hingga proses persidangan.

Contoh kasus yang dianulir antara lain kasus korupsi usaha perkebunan kelapa sawit PT Duta Palma Group yang menjerat konglomerat Surya Darmadi. Jaksa awalnya menuntut Surya untuk membayar Rp 73,9 triliun akibat kerugian yang ditimbulkan, termasuk untuk memulihkan kawasan hutan yang telah dirusak kebun sawit miliknya.

Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta lalu menjatuhkan putusan yang mengakui penghitungan kerugian perekonomian negara yang di dalamnya terdapat pertimbangan kerusakan lingkungan. Namun, Mahkamah Agung menganulir pengakuan tersebut dan memotong sanksi Darmadi sehingga hanya harus membayar kerugian negara sebesar Rp2 triliun.

Kasus lainnya adalah kasus korupsi pemberian IUP yang melibatkan mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dalam kasus tersebut tidak mempertimbangakan penghitungan kerugian lingkungan yang dipaparkan oleh ahli dalam persidangan.

ICW berharap ketika kasus korupsi PT Timah masuk ke proses persidangan, majelis hakim dapat memutus dengan progresivitas sehingga mengakomodir kalkulasi kerugian lingkungan yang telah dikonstruksikan oleh kejaksaan dengan bantuan ahli.

Indonesia Corruption Watch

Egi Primayogha - Seira Tamara - Yassar Aulia

Suara.com - Sosok Jenderal Purn Inisial B santer dikaitkan dalam kasus korupsi timah senilai Rp 271 Trilun yang kini digarap Kejaksaan Agung (Kejagung). Menebak nama Jenderal B di pusaran kasus korupsi timah, siapakah orangnya?

Sosok jenderal purnawirawan berinisial B tersebut pertama kali diungkap oleh Sekretaris Pendiri Indonesia Audit Watch (IAW) Iskandar Sitorus. Jenderal Purn B ini pun dikabarkan marah lantaran terbongkarnya kasus korupsi timah.

Keterlibatan Jenderal 'B' ini pun viral pasca dugaan penguntitan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Febrie Adriansyah oleh 3 orang anggota Densus 88 ketika sedang makan malam di sebuah restoran di kawasan Jakarta Selatan.

Awalnya, terendus gerak-gerik mencurigakan dari tiga orang itu yang disebut menggunakan alat untuk merekam Febrie. Polisi Militer (PM) yang mengawal Febrie pun berhasil menangkap salah satu dari anggota Densus 88.

Sebagai informasi, sebanyak 21 tersangka telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejagung terkait dugaan mega korupsi timah yang merugikan negara hingga Rp 271 triliun.

Eks Jenderal tersebut diklaim memiliki peran sebagai pelindung orang-orang yang terlibat kejahatan itu. Akan tetapi, sejauh ini nama sang jenderal yang menjadi bekingan dalam kasus mega korupsi timah masih jadi misteri.

Diketahui dalam institusi kemiliteran dan kepolisian, bintang 4 merujuk terhadap pangkat Jenderal. Apabila TNI, sosok itu biasanya menjabat sebagai mantan Panglima TNI, Kepala Staf Angkatan. Sedangkan di lingkungan Polri, perwira yang pernah mempunyai empat bintang di pundak, hanyalah kapolri ataupun bekas kapolri.

Namun, selain itu, baik di TNI atau Polri, ada pula perwira yang bisa meraih bintang 4 tanpa harus menjabat Panglima TNI, Kepala Staf Angkatan, ataupun Kapolri.

Iskandar Sitorus tidak menjelaskan secara detail sosok bintang 4 yang diduga beking praktik hitam tambang timah ini. Ia hanya menyebut, jenderal bintang 4 itu merupakan pensiunan aparat berseragam.

Lebih lanjut, pria kelahiran Pelembang ini menyebutkan terdapat oknum bintang 4, seorang oknum pensiunan dan berseragam yang membaking praktik hitam pertambangan timah tersebut.

Iskandar mengatakan, pensiunan bintang 4 itu berinisial B yang merupakan seorang laki-laki. Disebutkan, modus B yaitu mengakomodir praktik hitam tambang timah lewat mantan anak buahnya. Bahkan B juga mengorganisir hingga terjadinya pembelian smelter.

Seiring dengan proses penyelidikan yang tengah berlangsung, muncul beragam spekulasi. Termasuk purnawiran jenderal bintang 4 yang juga eks Kapolri itu, disebut masih memiliki akses ke anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri.

Bahkan disebut-sebut, Jenderal 'B' ini dekat dengan Robert Bonosusatyo alias RBT alias RBS, pemilik dari PT Refined Bangka Tin (RBT) yang masuk dalam daftar pusaran korupsi PT Timah (Persero) Tbk. Ia diduga diberi posisi penting di PT RBT. Dalam dugaan megakorupsi timah, penyidik Kejagung juga sempat memeriksa RBT alias RBS tetapi belum menetapkannya sebagai tersangka.